JALAN SIAPAKAH YANG KITA TEMPUH? Sebuah Renungan Dari Fatwa Ulama Kibar Terkait Dengan Tahdzir Syaikh Rabi’ Terhadap Dzulqarnain Al-Makassari


subhanallah

Bismillah,
Alhamdulilah, wash shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah,

Amma ba’du:
Sebelumnya, dengan terpaksa, diri Ana yang masih sangat jahil ini mencoba memberanikan diri untuk memberikan sumbangsih kapada saudara2ku yang cinta kepada dakwah dan ulamanya.

Ana awali dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Keberkahan itu diperoleh dengan berjalan bersama para ulama kibar.”

Lihat pos aslinya 1.099 kata lagi

KITAB TAUHID


KITAB TAUHID

“Apakah hakekat tauhid itu ?”

Tauhid adalah pemurnian ibadah kepada Allah. Maksudnya yaitu : menghambakan diri hanya kepada Allah secara murni dan konsekuen dengan mentaati segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya, dengan penuh rasa rendah diri, cinta, harap dan takut kepadaNya.

Untuk inilah sebenarnya manusia diciptakan Allah, dan sesungguhnya misi para Rasul adalah untuk menegakkan tauhid dalam pengertian tersebut di atas, mulai dari Rasul pertama sampai Rasul terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW. ( Lihat Al Qur’an 16 : 36, 21 : 25, 7 : 59, 65,73,85, dan lain-lain )

Maka buku dihadapan pembaca ini mempunyai arti penting dan berharga sekali untuk mengetahui hakekat tauhid dan kemudian menjadikannya sebagai pegangan hidup.

Buku ini ditulis oleh seorang ulama yang giat dan tekun dalam kegiatan da’wah Islamiyah. Beliau adalah syekh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi, yang dilahirkan di Uyainah, tahun 1115 H (1703 M), dan meninggal di Dir’iyyah (Saudi Arabia) tahun 1206 H (1792 M).

Keadaan umat Islam, dengan berbagai bentuk amalan dan kepercayaan pada masa hidupnya, yang menyimpang dari makna tauhid, telah mendorong syekh Muhammad bersama para muridnya untuk melancarkan da’wah Islamiyah guna mengingatkan umat agar kembali kepada tauhid yang murni.

Jagalah Diri dan Keluargamu dari Api Neraka


305616_341484052572242_1096467240_nJAGALAH DIRI DAN KELUARGA DARI API NERAKA

Jagalah Diri dan Keluarga dari Api Neraka (1)

Kengerian Neraka

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

Sebuah seruan dari Dzat Yang Maha Agung kepada orang-orang yang beriman, berisi perintah dan peringatan berikut kabar tentang bahaya besar yang mengancam.

Seruan ini ditujukan kepada insan beriman, karena hanya mereka yang mau mencurahkan pendengaran kepada ajakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang dengan perintah-Nya dan mengambil manfaat dari ucapan-ucapan-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan mereka agar menyiapkan tameng untuk diri mereka sendiri dan untuk keluarga mereka guna menangkal bahaya yang ada di hadapan mereka serta kebinasaan di jalan mereka.

Bahaya yang mengerikan itu adalah api neraka yang sangat besar, tidak sama dengan api yang biasa kita kenal, yang dapat dinyalakan dengan kayu bakar dan dipadamkan oleh air.

Api neraka ini bahan bakarnya adalah tubuh-tubuh manusia dan batu-batu. Ini berbeda sama sekali dengan api di dunia.

Bila orang terbakar dengan api dunia, ia pun meninggal berpisah dengan kehidupan dan tidak lagi merasakan sakitnya pembakaran tersebut.

Beda halnya bila seseorang dibakar dengan api neraka, na’udzubillah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا

Setiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka. (Al –Isra’:97)

كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ

Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)

لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا

Mereka tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan mereka kepada kematian (mereka tidak mati dengan siksaan di neraka bahkan mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula diringankan azabnya dari mereka.”  

(Fathir: 36) [Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-‘Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dengan subjudul Fit Tahdzir minan Nar wa Asbab Dukhuliha, 2/164-165]

Orang yang masuk ke dalam api yang sangat besar ini tidak mungkin dapat lari untuk meloloskan diri,

karena yang menjaganya adalah para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka serta selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ

Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras(At-Tahrim: 6)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menjelaskan, “Penjaganya adalah para malaikat Zabaniyah yang hati mereka keras, kaku, tidak mengasihi jika dimohon kepada mereka agar menaruh iba…

Kata شِدَادٌ maksudnya keras tubuh mereka.

Ada yang mengatakan, para malaikat itu kasar ucapannya dan keras perbuatannya. Ada yang berpendapat, malaikat tersebut sangat kasar dalam menyiksa penduduk neraka, keras terhadap mereka.

Bila dalam bahasa Arab dinyatakan: “Fulanun Syadiidun ‘alaa fulaanin” maksudnya Fulan menguasainya dengan kuat, menyiksanya dengan berbagai macam siksaan.

Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan غِلَاظٌ adalah sangat besar tubuh mereka, sedangkan maksud شِدَادٌ adalah kuat.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Jarak antara dua pundak salah seorang dari malaikat tersebut adalah sejauh perjalanan setahun.

Kekuatan salah seorang dari mereka adalah bila ia memukul dengan alat pukul niscaya dengan sekali pukulan tersebut tersungkur 70.000 manusia ke dalam jurang Jahannam.”

(Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 18/218)

Al-‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata menafsirkan ayat ke-6 surah At-Tahrim di atas,

Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang disebutkan dengan sifat-sifat yang mengerikan.

Ayat ini menunjukkan perintah menjaga diri dari api neraka tersebut dengan ber-iltizam (berpegang teguh) terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala,

menunaikan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya,

dan bertaubat dari perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala murkai serta perbuatan yang menyebabkan azab-Nya.

Sebagaimana ayat ini mengharuskan seseorang menjaga keluarga dan anak-anak dari api neraka dengan cara memberikan pendidikan dan pengajaran kepada mereka,

serta memberitahu mereka tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Seorang hamba tidak dapat selamat kecuali bila ia menegakkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan terhadap dirinya dan orang-orang yang di bawah penguasaannya,

baik istri-istrinya, anak-anaknya, dan selain mereka dari orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan pengaturannya.

Dalam ayat ini pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan neraka dengan sifat-sifat yang mengerikan agar menjadi peringatan terhadap manusia jangan sampai meremehkan perkaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“…yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (At-Tahrim: 6)

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ

Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah (patung-patung) adalah bahan bakar/kayu bakar Jahannam, kalian sungguh akan mendatangi Jahannam tersebut.”1

Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Yaitu akhlak mereka kasar dan hardikan mereka keras.

Mereka membuat kaget dengan suara mereka dan membuat ngeri dengan penampilan mereka.

Mereka melemahkan penghuni neraka dengan kekuatan mereka dan menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap penghuni neraka,

di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memastikan azab atas penghuni neraka ini dan mengharuskan azab yang pedih untuk mereka.

Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkankan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Di sini juga ada pujian untuk para malaikat yang mulia dan terikatnya mereka kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta ketaatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh perkara yang diperintahkan-Nya.”

(Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874) Penjagaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Keluarganya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai uswah hasanah bagi orang-orang yang beriman telah memberikan arahkan dan peringatan kepada kerabat beliau dalam rangka menjaga mereka dari api neraka.

Tatkala turun perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat:

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

Berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.(Asy Syu’ara: 214)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi bukit Shafa dan menaikinya, lalu menyeru manusia untuk berkumpul. Maka orang-orang pun berkumpul di sekitar beliau.

Sampai-sampai yang tidak dapat hadir mengirim utusannya untuk mendengarkan apa gerangan yang akan disampaikan oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian memanggil kerabat-kerabatnya, “Wahai Bani Abdil Muththallib!

Wahai Bani Fihr! Wahai Bani Lu’ai!

Apa pendapat kalian andai aku beritakan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda dari balik bukit ini akan menyerang kalian.

Adakah kalian akan membenarkan aku?” Mereka serempak menjawab, “Iya.” Beliau melanjutkan, “Sungguh aku memperingatkan kalian sebelum datangnya azab yang pedih.”

(HR Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitakan bahwa ketika turun ayat di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit seraya berkata,

“Wahai Fathimah putri Muhammad!

Wahai Shafiyyah putrid Abdul Muththalib!

Wahai Bani Abdil Muththalib!

Aku tidak memiliki kuasa sedikit pun di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menolong kalian kelak. (Adapun di kehidupan dunia ini) maka mintalah harta dariku semau kalian.”

(HR. Muslim)

Al-Imam Muslim radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa bila hendak shalat witir, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam membangunkan Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu:

رحم الله رجلاً قام من الليل فصلي ،ثم أيقظ امرأته فصلت،فإن أبت نضح في وجهها الماء،ورحم الله امرأة قامت من الليل فصلت ثم أيقظت زوجها فصلي ،فإن أبي نضحت في وجهه الماء

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri mengerjakan shalat.

Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si suami mengerjakan shalat.

Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah suaminya.”

(Sanad hadits ini shahih kata Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam tahqiqnya terhadap Al-Musnad)

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengabarkan, suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terbangun dari tidur beliau.

Beliau pun membangunkan istri-istri beliau untuk mengerjakan shalat. Kata beliau:

أيقظوا صواحب الحجر

Bangunlah, wahai para pemilik kamar-kamar (istri-istri beliau yang sedang tidur di kamarnya masing-masing)!”

(HR. Al-Bukhari)

Tidak luput pula putri dan menantu beliau juga mendapatkan perhatian beliau. Suatu malam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi rumah Ali dan Fathima radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata, “Tidaklah kalian berdua mengerjakan shalat malam?”

(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu)

Seorang suami sebagai kepala rumah tangga selain menjaga dirinya sendiri dari api neraka, ia juga bertanggung jawab menjaga istri, anak-anaknya, dan orang-orang yang tinggal di rumahnya.

Salah satu cara penjagaan diri dan keluarga dari api neraka adalah bertaubat dari dosa-dosa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا ۖإِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat nashuha.

Mudah-mudahan Rabb kalian menghapuskan kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan

orang-orang yang beriman bersamanya, sedang cahaya mereka memancar di depan dan di sebelah kanan mereka, seraya mereka berdoa,

‘Wahai Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’. (At-Tahrim: 8)

Seorang suami sekaligus ayah ini bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya, taubat yang murni, kemudian ia membimbing keluarganya untuk bertaubat.

Taubat yang dilakukan disertai dengan meninggalkan dosa, menyesalinya, berketetapan hati untuk tidak mengulanginya, dan mengembalikan hak-hak orang lain yang ada pada kita.

Taubat yang seperti itu tentunya menggiring pelakunya untuk beramal shalih.

Buah yang dihasilkannya adalah dihapuskannya kesalahan-kesalahan yang diperbuat, dimasukkan ke dalam surga, dan diselamatkan dari kerendahan serta kehinaan yang biasa menimpa para pendosa dan pendurhaka.

Melakukan amal ketaatan ketaatan dan menjauhi maksiat harus diwujudkan dalam rangka menjaga diri dari api neraka.

Seorang kepala rumah tangga menerapkan perkara ini dalam keluarganya, kepada istri dan anak-anaknya.

Ia punya hak untuk memaksa mereka agar taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak berbuat maksiat,

karena ia adalah pemimpin mereka yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak dalam urusan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.”

(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Ia harus memaksa anaknya mengerjakan shalat bila telah sampai usianya, berdasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع واضربوهم عليها وهم أبناء عشر، وفرقوا بينهم في المضاجع

Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya ketika telah berusia sepuluh tahun serta pisahkanlah di antara mereka pada tempat tidurnya.

(HR. Abu Dawud dari hadits Abdullah ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud, “Hadits ini hasan shahih.”)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)

Seorang ayah bersama seorang ibu harus bekerja sama untuk menunaikan tanggung jawab bersama anak, baik di dalam maupun di luar rumah.

Anak harus terus mendapatkan pengawasan di mana saja mereka berada, dijauhkan dari teman duduk yang jelek dan teman yang rusak.

Anak diperintahkan untuk mengerjakan yang ma’ruf dan dilarang dari mengerjakan yang munkar.

Orangtua harus membersihkan rumah mereka dari sarana-sarana yang merusak berupa video, film, musik, gambar bernyawa, buku-buku yang menyimpang, surat kabar, dan majalah yang merusak.

Seluruh perkara yang telah disebutkan di atas dilakukan dalam rangka menjaga diri dan keluarga dari api neraka.

Karena bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia meninggalkan shalat padahal shalat adalah tiang agama dan pembeda antara kafir dengan iman?

Bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia selalu melakukan perkara yang diharamkan dan mengentengkan amalan ketaatan?

Bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia selalu berjalan di jalan neraka, siang dan malam?

Hendaknya ia tahu bahwa neraka itu dekat dengan seorang hamba, sebagaimana surga pun dekat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الجنة أدنى إلى أحدكم من شراك نعله ، والنار مثل ذلك

Surga lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada tali sandalnya dan neraka pun semisal itu.”

(HR. Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Maksud hadits di atas, siapa yang meninggal di atas ketaatan maka ia akan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya, siapa yang meninggal dalam keadaan bermaksiat maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka.

(Al-Khuthab Al-Minbariyyah, 2/217)

Bagaimana seseorang dapat menjaga keluarganya dari api neraka sementara ia membiarkan mereka bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan kewajiban?

Bagaimana seorang ayah dapat menyelamatkan anak-anaknya dari api neraka bila ia keluar menuju masjid

sementara ia membiarkan anak-anaknya masih pulas di atas pembaringan mereka, tanpa membangunkan mereka agar mengerjakan shalat?

Atau anak=anak itu dibiarkan asyuk dengan permainan mereka, tidak diingatkan untuk shalat?

Anak-anak yang seyogianya merupakan tanggung jawab kedua orangtua mereka, dibiarkan berkeliaran di mal-mal, main game, membuat kegaduhan dengan suara mereka hingga mengusik tetangga, kebut-kebutan di jalan raya dengan motor ataupun mobil.

Sementara sang ayah tiada berupaya meluruskan mereka. Malah ia penuhi segala tuntutan duniawi si anak.

Adapun untuk akhirat mereka, ia tak ambil peduli. Sungguh orangtua yang seperti ini gambarannya tidaklah merealisasikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah At-Tahrim di atas.  

Wallahu musta’an.

Maka, marilah kita berbenah diri untuk menjaga diri kita dan keluarga kita dari api neraka.

Bersegeralah sebelum datang akhir hidup kita, sebelum datang jemputan dari utusan Rabbul Izzah, sementara kita tak cukup ‘bekal’ untuk bertameng dari api neraka, apatah lagi meninggalkan ‘bekal’ yang memadai untuk keluarga yang ditinggalkan.  

Allahumma sallim!

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:

1 Al-Anbiya: 98

Majalah Asy Syariah No.51/V/1430 H/2009

Bagaimana Agar Sholat menjadi Khusyu ?


48salon-ala-muslimah-jpeg.image_BAGAIMANA AGAR SHOLAT MENJADI KHUSYU?

Bagaimana Agar Sholat Menjadi Khusyu’?

oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah

Segala puji khusus bagi Allah, yang telah memerintahkan untuk beristi’anah (meminta tolong kepada-Nya) dengan kesabaran dan shalat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup.

Dia memberitakan bahwa hal itu merupakan suatu yang berat kecuali bagi para hamba-Nya yang khusyu’ . Allah juga menyifati kaum mukminin dengan khusyu’ dalam shalat mereka.  

Allah menjadikannya sebagai sifat-sifat mereka.

Allah berfirman :

 قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ

 “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya,

[Al-Mukminun : 1-2]

 Aku memuji-Nya atas besarnya anugerah dan kebaikan-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagai bentuk pengagungan terhadap-Nya.

Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, sang juru dakwah kepada keridhaan-Nya, shalat Allah atasnya dan atas keluarga dan para shahabatnya serta siapapun yang mengikuti mereka dengan baik. Amma ba’d :

Wahai umat manusia, bertaqwalah kalian kepada Allah. Ketahuilah bahwa khusyu’ dalam shalat merupakan ruh ibadah shalat tersebut sekaligus maksud utama ditegakkannya ibadah shalat tersebut.

Allah telah menyifati para rasul-Nya dan para hamba-Nya yang shalihin dengan sifat tersebut (khusyu’).

Allah berfirman :

 إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas [1], dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya` : 90]

Allah juga berfirman :

 قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya,

[Al-Mukminun : 1-2]

Allah juga menyifati para ‘ulama dengan sifat khasy-yah (takut) kepada-Nya dan khusyu’ tatkala mendengar Firman-Nya.

Allah berfirman :

 إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [Fathir : 28]

Allah juga berfirman :

 إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا . وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا. وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas wajah mereka sambil bersujud, seraya mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi”.

Dan mereka menyungkur atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.”

[Al-Isra` : 107-109]

Asal makna khusyu’ adalah kelembutan dan ketenangan hati, serta ketundukannya. Apabila hati telah khusyu’ maka akan diikuti oleh khusyu’ anggota badan.

Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam :

« أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ. أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ »

 “Ketahuilah, bahwa dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka baik pulalah seluruh jasad, namun apabila ia jelek maka jelek pulalah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati.”

 [Muttafaqun ‘alaihi]

 Apabila seseorang membuat-buat khusyu’ pada anggota badannya tanpa diiringi kekhusyu’an hati, maka yang demikian adalah khusyu’ nifaq. ‘Umar Radhiyallah ‘anhu pernah melihat seorang pemuda menundukkan kepalanya, maka ‘Umar pun berkata, “Wahai kamu, angkat kepalamu, karena khusyu’ itu letaknya bukan di leher.

 Sesungguhnya khusyu’ itu tidak lebih dari apa yang terdapat dalam hati.”

 Khusyu’ yang terdapat dalam hati tidak lain dihasilkan dari ma’rifah (pengenal dan ilmu) tentang Allah ‘Azza wa Jalla dan ma’rifah tentang keagungan-Nya.

 Barangsiapa yang semakin mengenal dan berilmu tentang Allah, maka dia makin khusyu’ terhadap-Nya. Di antara sebab terbesar tercapainya khusyu’ adalah mentadabburi Kalamullah.

 Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman :

  لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ

 Kalau seandainya Kami turunkan Al-Qur`an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan itlah perumpamaan-perumpamaan kami buat untuk manusia agar mereka berfikir.” [Al-Hasyr : 21]

 Allah telah menyifati para ‘ulama dari kalangan Ahlul Kitab dengan sifat khusyu’ ketika mendengar Al-Qur`an ini.

 Allah Ta’ala berfirman :

  إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا . وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا. وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

 Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas wajah mereka sambil bersujud, seraya mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” [Al-Isra` : 107-109]

 Allah telah mencela orang yang tidak khusyu’ ketika mendengar Firman-Nya. Allah berfirman :

  أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

 Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu’ hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”

 [Al-Hadid : 16]

Bahkan Allah mengancam pemilik hati yang keras dengan firman-Nya :

  فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللهِ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ

 Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah mengeras hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. [Az-Zumar : 22]

 Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dulu sering berlindung kepada Allah dari hati yang tidak khusyu’ , sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah :

 Bahwa Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dulu sering berdo’a :

 « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا »

 Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”

 Allah telah mensyari’atkan berbagai jenis ibadah yang menampakkan kekhusyu’an hati dan badan. Di antaranya yang terbesar adalah ibadah shalat. Dan Allah telah memuji orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya dengan firman-Nya :

  قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya,

[Al-Mukminun : 1-2]

 Mujahid berkata :

 “Dulu para ‘ulama, apabila salah seorang dari mereka berdiri dalam shalatnya, maka mereka taku kepada Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla untuk melirikkan pandangannya, atau menoleh, atau memainkan pasir, atau melakukan sesuatu, atau mengajak berbicara dirinya tentang urusan dunia kecuali jika lupa, selama ia berada dalam shalatnya.”

 Dalam Shahih Muslim dari shahabat ‘Utsman Radhiyallah ‘anhu dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

« مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ »

 Tidaklah seorang muslim yang telah tiba kepadanya waktu shalat wajib, kemudian dia membaikkan wudhu`nya, khusyu’nya, dan ruku’nya kecuali itu menjadi kaffarah (penebus) atas dosa yang telah lalu, selama tidak dilakukan dosa besar. dan itu berlaku sepanjang tahun.”

 Wahai para hamba, Untuk tercapainya khusyu’ ada sebab-sebabnya, di antara sebab yang terbesar :

Seorang hamba mengingat akan keagungan Allah ‘Azza wa Jalla yang dia sedang berdiri di hadapan-Nya, dan bahwasanya Dia dekat dengannya, melihat, dan mendengarnya, serta mengetahui segala apa yang terbesit dalam hatinya, sehingga mendorongnya untuk malu kepada-Nya ‘Azza wa Jalla .

 Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’ dalam shalat :  

 Meletakkan tangan yang satu di atas tangan yang lain (bersedekap), yaitu meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada.

Makna sikap yang demikian adalah menunjukkan pengrendahan diri dan berkeping-kepingnya hati di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Al-Imam Ahmad rahimahullah telah ditanya tentang maksud dari sikap (bersedekap) tersebut, maka beliau menjawab :

 “Itu merupakan bentuk pengrendahan diri di hadapan Dzat Yang Maha Perkasa.”

 Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’ dalam shalat : 

 Menghentikan segala gerakan dan segala yang tidak bermanfaat, serta senantiasa diam.

 Oleh karena itu, ketika seorang ‘ulama salaf melihat seorang pria bermain-main dengan tangannya dalam shalatnya, maka ‘ulama salaf tersebut berkata,

 “Kalau seandainya hati orang ini khusyu’, niscaya akan khusyu’ pula anggota badannya.” Peristiwa ini diriwayatkan juga secara marfu’ sampai kepada Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam.

 Sebagian orang apabila dia berdiri menunaikan shalatnya, terkadang mereka masih bermain-main, menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, atau bermain-main dengan jenggot dan hidungnya, sampai-sampai tingkah lakunya untuk mengganggu orang yang di sebelahnya.

 Ini menunjukkan tidak adanya khusyu’ dalam shalat.

 Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’ dalam shalat :

Menghadirkan hati dalam shalat, dan tidak menyibukkan dengan berbagai kesibukan dan pekerjaan duniawi. Ia konsentrasi penuh menghadap kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan hatinya. Dan tidak menyibukkan dengan sesuatu selain shalat.

 Telah ada larangan untuk menoleh dalam shalat.

 Dijelaskan oleh para ‘ulama, bahwa menoleh itu ada dua macam :

 Pertama,  

 berpalingnya hati dari Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu hati berpaling kepada dunia dan berbagai kesibukkannya, dan sama sekali tidak konsentrasi menghadap Rabbnya.

 Dalam Shahih Muslim, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda tentang keutamaan dan pahala wudhu’ :

 « … فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَمَجَّدَهُ بِالَّذِى هُوَ لَهُ أَهْلٌ وَفَرَّغَ قَلْبَهُ للهِ إِلاَّ انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ »

 “Jika kemudian dia berdiri menunaikan shalat, seraya memuji, menyanjung, dan memuliakan Allah dengan pujian yang sesuai bagi-Nya, dan hatinya konsentrasi penuh kepada Allah, maka ia akan terlepas dari dosa-dosa seperti kondisinya pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.”

Kedua,  

 menoleh dengan pandangan ke kanan atau ke kiri. Yang dituntunkan dalam syari’at adalah membatasi pandangan hanya pada tempat sujudnya saja, karena itu merupakan di antara konsekuensi kekhusyu’an, yang dengannya terputuslah darinya segala pemandangan di sekitarnya yang bisa menyibukkannya.

 Dalam Shahih Al-Bukhari dari shahabat ‘Aisyah Radhiyallah ‘anha :

 “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dari menoleh/berpaling dalam shalat?

 Maka beliau menjawab :

 « هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ أَحَدِكُمْ »

 “Itu adalah curian, yang dicuri oleh syaithan dari shalat kalian.”

 Al-Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari shahabat Al-Harits Al-Asy’ari, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam :

 Bahwa Allah memerintahkan Nabi Yahya bin Zakariyya ‘alaihis salam untuk menegakkan shalat.

 فَإِنَّ اللَّهَ يَنْصِبُ وَجْهَهُ لِوَجْهِ عَبْدِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ ، فَإِذَا صَلَّيْتُمْ فَلاَ تَلْتَفِتُوا

 Sesungguhnya Allah menghadapkan wajah-Nya kepada wajah hamba-Nya selama sang hamba tersebut tidak berpaling/menoleh. Maka jika kalian sedang shalat jangalah berpaling/menoleh.”

 Al-Imam Ahmad juga meriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr Radhiyallah ‘anhu, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

 “Allah senantiasa menghadap kepada seorang hamba dalam shalat-Nya selama sang hamba tersebut tidak berpaling/menoleh. Jika sang hamba tersebut berpaling/menoleh, maka Allah pun akan berpaling darinya.”

 Wahai para hamba Allah, Sesungguh ibadah shalat, dalam semua gerakannya menunjukkan ketundukan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seperti berdiri, ruku’, sujud, serta bacaan dzikir yang diucapkan dalam masing-masing gerakan tersebut.

 Allah berfirman :

  وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ

 “Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” [Al-Baqarah : 238]

Allah berfirman :

  وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

 Ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ “ [Al-Baqarah : 43]

 Karena ruku’ merupakan bentuk ketundukan kepada Allah dan menghinakan diri di hadapan-Nya dengan sikap badan. Sungguh orang-orang yang mutakabbir (sombong) menolak untuk sujud kepada Allah, maka Allah pun mengancam mereka dengan firman-Nya :

  وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُوا لا يَرْكَعُونَ . وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ

 Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ruku’lah kalian, niscaya mereka tidak mau ruku’. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” [Al-Mursalat : 48-49]

 Di antaranya juga adalah sujud, yang itu merupakan gerakan terbesar yang tampak padanya kehinaan seorang hamba terhadap Rabb-nya ‘Azza wa Jalla.

Yaitu ketika sang hamba menjadikan anggota badan yang paling utama dan paling mulia serta paling tinggi, menjadi paling rendah di hadapan Rabb-nya.

 Sang hamba meletakkan wajahnya ke tanah, diiringi dengan berkeping-keping hati, merendah, dan kekhusyu’an kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh karena itu balasan bagi seorang mukmin apabila ia melakukan hal tersebut, maka Allah mendekatkannya kepada-Nya.

 Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

 « أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ »

 “Sesungguh kondisi terdekat seorang hamba kepada Rabb-nya adalah ketika dia sedang sujud.”

Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya :

  وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ

 “dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Allah).” [Al-’Alaq : 19]

 Iblis telah sombong dari sujud,

 maka ia menuai laknat dan kehinaan. Demikian kaum musyrikin dan munafiqin telah sombong dari sujud, maka Allah ‘Azza wa Jalla ancam mereka bahwa mereka akan Allah haramkan dari sujud kepada-Nya pada hari pertemuan dengan-Nya, karena mereka tidak mau sujud kepada-Nya di dunia.

 Allah Ta’ala berfirman :

  يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ . خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ

 “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak mampu melakukannya, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) telah diajak untuk bersujud, dalam keadaan mereka sejahtera.” [Al-Qalam : 42-43]

 Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallah ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

 « يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ ، وَيَبْقَى مَنْ كَانَ يَسْجُدُ فِى الدُّنْيَا رِئَاءً وَسُمْعَةً ، فَيَذْهَبُ لِيَسْجُدَ فَيَعُودُ ظَهْرُهُ طَبَقًا وَاحِدًا »

 “Rabb kita menyingkap betis-Nya, maka sujudlah kepada-Nya seluruh mukmin dan mukminah, namun tinggal orang-orang yang dulu sujud di dunia karena riya’ atau sum’ah. Dia berupaya hendak bersujud, namun ternyata punggungnya hanya satu tulang saja (sehigga tidak bisa digerakkan untuk sujud).

 Al-Imam Ibnu Katsir berkata :

 “Hadits diriwayatkan dalam dua kitab shahih (yakin Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dan kitab-kitab lainnya dari banyak jalur periwayatan dan berbagai macam lafazh, itu adalah hadits yang panjang dan terkenal.”

 Di antara kesempurnaan kekhusyu’an seorang hamba dalam ruku’ dan sujudnya, bahwa apabila dia menghinakan diri dihadapan Rabbnya dengan ruku’ dan sujud, hendaknya dia menyifati Rabb-nya ketika itu dengan sifat Kemuliaan, Kebesaran, Keagungan, dan Ketinggian.

 Seakan-akan dia berkata :

 “Kehinaan dan kerendahan adalah sifatku, sementara Ketinggian, Keagungan, dan Kebesaran adalah sifat-Mu.” Oleh karena itu disyari’atkan kepada hamba dalam ruku’ untuk membaca :

 ( سبحان ربي العظيم )

 “Maha Suci Rabbku yang Maha Agung

 Dan ketika sujud membaca :

 ( سبحان ربي الأعلى )

Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi

 Wahai kaum muslimin, Sesungguhnya merenungkan rahasia-rahasia dan faidah-faidah shalat adalah di antara yang bisa menjadikan seorang hamba mudah mengerjakannya dan bisa merasakan lezatnya.

 Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam :

 وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَة

 “Telah dijadikan kesejukan mataku dalam shalat.”

 Allah telah berfirman :

  وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ

 Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,”

 [Al-Baqarah : 45]

 Allah juga berfirman :

  وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ

 Minta tolonglah kalian (kepada Allah) dengan cara sabar dan shalat.” [Al-Baqarah : 45]

 Allah juga berfirman :

  وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 “dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari pada ibadah-ibadah lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-’Ankabut : 45]

 Namun tatkala seorang hamba lalai dari berbagai faidah dan rahasia shalat, maka shalat menjadi berat atasnya. Apabila dia masuk padanya, seakan-akan dia berada dalam penjara sampai ia selesai darinya.

 Oleh karena itu kebanyakan motivasi pendorongnya untuk masuk dalam shalat, hanyalah dalam rangka sebagai suatu rutinitas belaka, atau sekadar membagus-baguskan diri.

 Maka bertaqwalah kalian wahai para hamba Allah dalam shalat-shalat kalian. Karena sesungguhnya shalat merupakan tiang agama, bisa mencegah dari berbagai perbuatan keji dan dosa.

 Dan shalat merupakan wasiat terakhir Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau meninggalkan dunia ini, sekaligus amalan terakhir yang hilang dari agama.

 Maka tidak ada agama lagi setelah hilangnya shalat.

 [1] Maksudnya: mengharap agar Allah mengabulkan doanya dan khawatir akan azab-Nya

Hafshah bintu ‘Umar bin Al Khaththab


Hafshah bintu ‘Umar bin Al Khaththab

Wanita mulia, putri seorang yang mulia. Kemuliaan yang dicurahkan oleh Rabbnya dengan puasa dan shalat malamnya.

Kemuliaan yang membuat dirinya tetap berdampingan dengan orang yang paling mulia, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Putri seorang yang paling mulia setelah Abu Bakr Ash Shiddiq,

Hafshah bintu ‘Umar bin Al Khaththab bin Nufail bin ‘Abdil ‘Uzza bin Riyah bin ‘Abdillah bin Qarth bin Razzah bin ‘Ady bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib Al Qurasyiyyah Al ‘Adawiyyah radliallahu anhu.

Ibunya bernama Zainab bintu Madh’un bin Hubaib bin Wahb bin Hudzafah bin Jumah Al Jumahiyah.

Dia dilahirkan lima tahun sebelum masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diangkat sebagai nabi.

Hafshah merangkai kisah hidupnya dalam ikatan pernikahannya dengan Khumais bin Hudzafah As Sahmi, seorang sahabat mulia yang turut terjun dalam pertempuran Badr.

Namun ikatan itu harus terurai. Khumais terluka dalam peperangan Uhud hingga akhirnya meninggal dunia di Madinah.

Dilaluinya kesunyian hari-hari tanpa seseorang di sisinya. Kesedihan tak tersembunyi dari wajahnya.

Betapa pilu hati ‘Umar bin Al Khaththab radliallahu anhu melihat semua itu. Betapa ingin dia mengusir kesedihan hati putrinya. Terlintas di benaknya sosok seorang yang mulia, Abu Bakr Ash Shiddiq .

Usai masa ‘iddah Hafshah, bergegas ‘Umar berangkat menemui Abu Bakr.

Dikisahkannya peristiwa yang menimpa putrinya, kemudian ditawarkannya Abu Bakr untuk menikah dengan putri tercintanya.

Akan tetapi, ‘Umar tidak mendapati jawaban sepatah kata pun dari Abu Bakr.

Remuk redamlah hati ‘Umar. Dia bangkit meninggalkan Abu Bakr dengan menyisakan kemarahan.

Kemudian ‘Umar menemui ‘Utsman bin ‘Affan yang baru saja kehilangan kekasihnya, Ummu Kultsum, putri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Diceritakannya pula tentang putrinya dan ditawarkannya ‘Utsman untuk menikahi putrinya. ‘Utsman pun terdiam, kemudian memberikan jawaban yang membuat hati ‘Umar semakin hancur, “Kurasa, aku tidak ingin menikah dahulu hari-hari ini.”

‘Umar kembali dengan membawa bertumpuk kekecewaan.

Dengan penuh gundah, ‘Umar menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Diungkapkannya segala yang dialaminya.

Merekahlah senyuman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu beliau berkata, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada ‘Utsman, dan ‘Utsman akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.”

Siapa yang menyangka, ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meminang Hafshah, putri sahabatnya, ‘Umar bin Al Khaththab radliallahu anhu.

Tak terkira kegembiraan yang memenuhi hati ‘Umar.

Seusai menikahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan putrinya, ‘Umar segera mendatangi Abu Bakr untuk mengabarkan peristiwa besar yang dia alami sebagai suatu kemuliaan dari Allah diiringi dengan permintaaan maaf.

Abu Bakr tersenyum mendengar penuturan ‘Umar, “Barangkali waktu itu engkau sangat marah padaku.

Sesungguhnya aku tidak memberikan jawaban karena aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebut-nyebut Hafshah.

Akan tetapi, aku tidak ingin menyebarkan rahasia beliau. Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menikahinya, pasti aku akan menikah dengannya.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menikah dengan Hafshah pada tahun ketiga hijriyah, dalam usia Hafshah yang kedua puluh tahun.

Semenjak saat itu, Hafshah hadir dalam rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, setelah ‘Aisyah radliallahu anha Pada tahun itu pula beliau menikahkan ‘Utsman bin ‘Affan radliallahu anhu dengan putri beliau, Ruqayyah radliallahu anha

Dalam rentang perjalanannya menapaki rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tercatat kisah yang mengguratkan sejarah besar.

Dari peristiwa itulah turun ayat-ayat dalam Surat At Tahrim sebagai teguran Allah Subhanahuwata ‘ala erawal kisah ini dari singgahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di rumah Zainab bintu Jahsy radliallahu anhumaBeliau tertahan beberapa lama karena menikmati madu yang dihidangkan Zainab.

Tatkala mendengar hal itu, meluaplah riak-riak kecemburuan ‘Aisyah. Dia kabarkan hal ini kepada Hafshah.

Kemudian ‘Aisyah dan Hafshah pun bersepakat, apabila beliau menemui salah seorang dari mereka berdua, hendaknya dikatakan bahwa beliau telah makan buah Maghafir.

Inilah yang dilakukan oleh ‘Aisyah dan Hafshah, hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan, “Aku tidak makan buah maghafir.

Aku hanya minum madu di tempat Zainab, dan aku tidak akan mengulanginya lagi.”

Pun tak hanya itu yang terjadi. Peristiwa lain turut mengiringi, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendatangi budak beliau, Mariyah Al Qibthiyyah, di rumah Hafshah.

Kecemburuan Hafshah pun membuncah, “Ya Rasulullah, engkau lakukan hal itu di rumahku, di atas tempat tidurku dan pada hari giliranku.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun segera meredakan kemarahan Hafshah. Beliau menyatakan bahwa sejak saat itu Mariyah haram bagi beliau.

Tak lupa beliau berpesan agar Hafshah tidak menceritakan apa yang terjadi pada siapa pun.

Namun, Hafshah tidak memegangi pesan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Dia mengungkap peristiwa itu di hadapan ‘Aisyah .

Siapakah yang dapat bersembunyi dari Allah?

Tentang dua peristiwa ini, Allah turunkan wahyu kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam agar tidak mengharamkan segala yang Allah halalkan, semata-mata untuk mencari keridhaan istri-istri beliau.

Allah kabarkan kepada beliau tentang apa yang diperbuat ‘Aisyah dan Hafshah ,

disertai pula teguran kepada mereka berdua untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang mulia ini terus dibaca, terus membuahkan banyak faidah.

Perjalanan rumah tangga dengan segenap pasang surutnya. Suatu ketika, pernah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hendak menceraikannya.

Namun Jibril menahan beliau, “Kembalilah kepada Hafshah! Sesungguhnya dia wanita yang banyak puasa dan shalat malam, dan dia adalah istrimu kelak di dalam surga.”

Hafshah bintu ‘Umar radliallahu anhu, wanita mulia yang meraih kemuliaan dengan puasa dan shalat malamnya.

Hafshah menikmati bimbingan dalam liputan cahaya kenabian.

Dia meriwayatkan banyak ilmu dari sisi suaminya yang tercinta, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dari ayahnya, ‘Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu.

Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dia sebarkan ilmu, hingga tercatatlah deretan nama para sahabat yang meriwayatkan dari Hafshah bintu ‘Umar radliallahu anhu, di antaranya ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu anhu, saudara laki-lakinya.

Masa terus berjalan, khilafah berganti. Pada tahun keempat puluh lima setelah hijrah, pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radliallahu anhu, Hafshah bintu ‘Umar radliallahu anhu kembali kepada Rabb-nya.

Kala itu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Hurairah radliallahu anhuma terlihat turut mengusung jenazah Hafshah radliallahu anhu dari kediamannya hingga ke kuburnya.

Wanita mulia itu telah tiada, kehidupannya meninggalkan keharuman ilmu dan guratan berharga bagi umat ini. Hafshah bintu ‘Umar, semoga Allah meridhainya.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Berjabat Tangan Setelah Sholat


Berjabat Tangan setelah Sholat

palace-interiorMengucapkan salam dan berjabat tangan kepada sesama muslim saat berjumpa dan berpisah dengannya adalah perkara yang terpuji dan disukai dalam Islam. Dengan perbuatan ini, hati kaum Muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di antara mereka. Sunnah ini sudah lama diamalkan oleh para sahabat -radhiyallahu ‘anhum-.

Qotadah -rahimahullah- berkata, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-, “Apakah ada jabat tangan di kalangan sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-?” Anas berkata, “Ya, ada”.[HR. Al-Bukhoriy dalam Ash-Shohih (5908), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (2871), Ibnu Hibban (492), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubra (13346)]

Sunnah ini dilakukan oleh Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– , dan para sahabatnya ketika mereka bertemu dan berpisah. Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا.

“Tidaklah dua orang muslim bertemu, lalu keduanya berjabatan tangan, kecuali akan diampuni keduanya sebelum berpisah”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (5212), At-Tirmidziy dalam As-Sunan (2727), Ahmad dalam Al-Musnad (4/289), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (3/32/no.2718)]

Berjabat tangan menyebabkan bergugurannya dosa-dosa seorang mukmin. Inilah yang pernah dinyatakan oleh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dalam sabdanya,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرُ.

“Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan seorang mukmin, dan mengambil tangannya, lalu ia menjabatinya, maka akan berguguran dosa-dosanya sebagaimana daun pohon berguguran”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (245). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (no.2720)]

Karena keutamaan besar seperti ini, para sahabat memiliki kebiasaan saat bertemu dengan kawannya, mereka saling berjabatan tangan. Anas bin Malik –radhiyallahu anhu– berkata,

كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا تَلاَقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا.

“Dulu para sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, apabila mereka bertemu, maka mereka berjabatan tangan. Jika mereka datang dari safar, maka mereka berpelukan”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath. Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (2719)]

Namun apa yang terjadi jika perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya?! Tidak ada kebaikan yang didapat, bahkan pelanggaran syari’atlah yang terjadi, dan perpecahan, karena ada sebagian jama’ah, jika selesai sholat, ia langsung menjabati orang. Jika tidak dilayani jabatan, maka ia marah, dan jengkel kepada saudaranya yang tak mau jabatan setelah sholat.

Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Jibrin -hafizhohullah- berkata, “Mayoritas orang yang shalat mengulurkan tangan mereka untuk berjabat tangan dengan orang di sampingnya setelah salam dari shalat fardlu dan mereka berdoa dengan ucapan mereka ‘taqabbalallah’. Perkara ini adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil dari Salaf”. [Lihat Majalah Al-Mujtama’  (no. 855)].

Bagaimana mereka melakukan hal itu sedangkan para peneliti dari kalangan ulama telah menukil bahwa jabat tangan dengan tata cara tersebut (setelah salam dari shalat) adalah bid’ah? Suatu perbuatan yang tak ada contohnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para sahabatnya.

Tragisnya lagi, jika ada diantara kaum muslimin yang menganggap jabat tangan sebagai sunnah, apalagi wajib, sehingga mereka membenci saudaranya yang tak mau berjabatan tangan sehabis sholat dengan berbagai macam dalih, bahwa yang tidak berjabat tangan menganggap orang lain najis, benci kepada saudaranya, tidak ada rasa ukhuwahnya, dan kekompakan, serta anggapan dan buruk sangka lainnya. Padahal saudaranya tidak mau berjabatan tangan usai sholat, karena ia tahu hal ini tak ada contohnya jika dilakukan habis sholat, bahkan itu merupakan bid’ah. Bukan karena benci dan najis!!!

Seorang ulama Syafi’iyyah, Al ‘Izz bin Abdus Salam Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata, “Jabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi yang baru datang dan bertemu dengan orang yang menjabat tangannya sebelum shalat. Maka sesungguhnya jabat tangan disyaratkan tatkala datang. Nabi -Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam- berdzikir setelah shalat dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan dan beristighfar tiga kali kemudian berpaling. Diriwayatkan bahwa beliau berdzikir :

رَبِّ قِِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ

“Wahai Rabbku, jagalah saya dari adzab-Mu pada hari Engkau bangkitkan hamba-Mu.” [HR. Muslim (no. 62), At-Tirmidzi (no. 3398 dan 3399), dan Ahmad dalam Al-Musnad (4/290)]. Kebaikan seluruhnya adalah dalam mengikuti Rasul”. [Lihat Fatawa Al ‘Izz bin Abdus Salam (hal.46-47), dan Al Majmu’ (3/488)].

Apabila bid’ah ini di masa Al-Izz Ibnu Abdis Salam terbatas setelah dua shalat tersebut, maka sungguh di jaman kita ini,  hal itu telah terjadi pada seluruh shalat. Laa haula wala quwwata illa billah.

Al Luknawiy -rahimahullah- berkata, “Sungguh telah tersebar dua perkara di masa kita ini pada mayoritas negeri, khususnya di negeri-negeri yang menjadi lahan subur berbagai bid’ah dan fitnah. Pertama, mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk masjid waktu shalat Shubuh, bahkan mereka masuk dan shalat sunnah kemudian shalat fardlu. Lalu sebagian mereka mengucapkan salam atas sebagian yang lain setelah shalat dan seterusnya. Hal ini adalah perkara yang jelek, karena sesungguhnya salam hanya disunnahkan tatkala bertemu sebagaimana telah ditetapkan dalam riwayat-riwayat yang shahih, bukan tatkala telah duduk. Kedua, mereka berjabat tangan setelah selesai shalat Shubuh, Ashar, dan dua hari raya, serta shalat Jum’at. Padahal pensyariatan jabat tangan juga hanya di saat awal bersua”. [Lihat As-Si’ayah fil Kasyf  Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264)].

Dari perkataan beliau dapat dipahami bahwa jabat tangan antara dua orang atau lebih yang belum berjumpa sebelumnya tidak ada masalah. Muhaddits Negeri Syam, Syaikh Al Albaniy -rahimahullah-  berkata, “Adapun jabat tangan setelah shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum berjumpa sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah sebagaimana Anda telah ketahui”. [Lihat As-Silsilah As-Shahihah (1/1/53)]

Larangan berjabat tangan setelah melaksanakan sholat merupakan perkara yang dilarang oleh para ulama’. Oleh karena itu, sebuah kesalahan besar, jika diantara kaum muslimin yang membenci saudaranya jika tidak melayaninya berjabatan tangan, lalu menganggapnya pembawa aliran sesat. Padahal mereka yang tak mau berjabatan tangan saat usai sholat memiliki sandaran dari Al-Kitab dan Sunnah, serta ucapan para ulama’.

Al-Allamah Al-Luknawiy -rahimahullah- berkata, “Di antara yang melarang perbuatan itu (jabat tangan setelah sholat), Ibnu Hajar Al-Haitamiy As-Syafi’iy, Quthbuddin bin Ala’uddin Al-Makkiy Al-Hanafiy, dan Al-Fadhil Ar-Rumiy dalam Majalis Al-Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek ketika beliau berkata, “Berjabat tangan adalah baik saat bertemu. Adapun selain saat bertemu, misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari raya sebagaimana kebiasaan di jaman kita adalah perbuatan tanpa landasan hadits dan dalil! Padahal telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil, berarti tertolak dan tidak boleh taklid padanya.” [Lihat As-Si’ayah fil Kasyf  Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264), Ad-Dienul Al-Khalish (4/314), Al-Madkhal (2/84), dan As-Sunan wa Al-Mubtada’at (hal. 72 dan 87)].

Beliau juga berkata, “Sesungguhnya ahli fiqih dari kelompok Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah menyatakan dengan tegas tentang makruh dan bid’ahnya.” Beliau berkata dalam Al Multaqath, “Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah shalat dalam segala hal, karena sahabat tidak saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasanya perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah.” Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyah berkata, “Apa yang dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan setelah shalat lima waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada asalnya dalam syariat.” Alangkah fasihnya perkataan beliau –rahimahullah Ta’ala- dalam ijtihad dan ikhtiarnya. Beliau berkata, “Pendapat saya, sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat tangan (setelah shalat) ini tidak ada asalnya dari syariat.

Kemudian mereka berselisih tentang makruh atau mubah. Suatu masalah yang berputar antara makruh dan mubah harus difatwakan untuk melarangnya, karena menolak mudharat (kerusakan) lebih utama daripada menarik maslahat. Lalu kenapa dilakukan jabat tangan, padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara yang mubah? Sementara orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai perkara yang baik, sangat menjelek-jelekkan orang yang melarangnya, dan mereka terus-menerus dalam perkara itu. Padahal terus-menerus dalam perkara mandub (sunnah) jika berlebihan akan mengantarkan pada batas makruh.

Lalu bagaimana jika terus-menerus dalam bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syariat?! Berdasarkan hal ini, maka tidak diragukan lagi makruhnya jabat tangan usai sholat. Inilah maksud orang yang memfatwakan makruhnya. Di samping itu pemakruhan hanyalah dinukil oleh orang yang menukilnya dari pernyataan-pernyataan ulama terdahulu dan para ahli fatwa. Maka riwayat-riwayat Penulis Jam’ul Barakat, Siraj Al-Munir, dan Mathalib Al Mu’minin, mampu menandinginya, karena kelonggaran penulisnya dalam meneliti riwayat-riwayat telah terbukti.

Telah diketahui oleh Jumhur Ulama bahwa mereka mengumpulkan segala yang basah dan kering (yang jelas dan yang samar). Yang lebih mengherankan lagi ialah Penulis Khazanah Ar Riwayah tatkala ia berkata dalam Aqd Al-La’ali, “Dia (Nabi) ‘Alaihis Salam berkata, “Jabat tanganlah kalian setelah shalat Shubuh, niscaya Allah akan menetapkan bagi kalian sepuluh (kebaikan)”. Konon kabarnya, Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Berjabat tanganlah kalian setelah shalat Ashar, niscaya kalian akan dibalas dengan rahmah dan pengampunan”. Sementara si Penulis itu tidak memahami bahwa kedua hadits ini dan yang semisalnya adalah palsu yang dibuat-buat oleh orang-orang yang berjabat tangan itu. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.[Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al Wiqayah (hal. 265)]

Terakhir, kami perlu ingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang muslim memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim, kecuali dengan sebab syar’i. Yang kami saksikan berupa adanya gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka melaksanakan dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib. Kemudian, tiba-tiba mereka mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan seterusnya. Akhirnya, membuat jama’ah lain tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena jabat tangan, akan tetapi karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir kepada Allah, karena jabat tangan ini. Padahal tidak ada sebab-sebab perjumpaan atau perpisahan yang membolehkan jabatan tangan.

Namun bukanlah termasuk hikmah, jika Anda menarik tangan Anda dari tangan orang di samping Anda, dan menolak tangan yang terlanjur terulur pada Anda. Karena sesungguhnya perbuatan ini adalah sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut, dan jelaskan kepadanya bahwa  jabat tangan setelah sholat tak ada contohnya dari Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya.

Betapa banyak orang yang terpikat dengan nasihat, dan dia memang orang yang pantas dinasihati. Hanya saja ketidaktahuan telah menjerumuskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah. Lantaran itu, wajib atas ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran, tetapi tidak tepat memilih metode yang selamat. Lalu dia terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar daripada yang diingkari sebelumnya. Karenanya, lemah lembutlah kalian dengan muslim lainnya.

Buatlah manusia mencintai kalian dengan akhlak yang baik, niscaya kalian akan menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga yang mendengar dan hati yang penuh perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia adalah lari dari kekasaran dan kekerasan. [Lihat Tamam Al-Kalam fi Bid’ah Al-Mushafahah ba’da As-Salam (hal. 23), dan Al-Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin (295)]

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201).


944733_473438296064578_1241789612_nBAGAIMANA PAKAIAN YANG SEHARUSNYA DIKENAKAN KETIKA WAKTU SHOLAT?

Pakaian sebagai kebutuhan primer kita sehari-hari sangat layak diperhatikan terlebih ketika kita menghadap Allah di dalam sholat.

Kita diharuskan berpakaian bersih suci dari segala jenis najis dan menutup aurat. Permasalahan bersih dari najis, tentu kita sudah banyak yang memahaminya.

Tetapi tentang menutup aurat? Seperti bagaimanakah pakaian yang seharusnya dikenakan di waktu sholat?…

TASYABUH DALAM BERPAKAIAN

Sebuah riwayat dalam Shahih Muslim disampaikan dengan sanadnya sampai kepada Abu Utsman An Nahdi, ia berkata, “Umar pernah mengirim surat kepada kami di Azerbaijan yang isinya:

“’Wahai Utbah bin Farqad! Jabatan itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ayah dan ibumu.

Karena itu kenyangkanlah kaum muslimin di negeri mereka dengan apa yang mengenyangkan di rumahmu[1], hindarilah bermewah-mewah, memakai pakaian ahli syirik dan memakai sutera.“

Dalam Musnad Ali bin Ja’ad ada tambahan, “…pakailah sarung, rida’ (jubah), dan sandal serta buanglah selop dan celana panjang… pakailah pakaian bapak kalian Ismail, hindarilah bernikmat-nikmat dan hindarilah pakaian orang-orang asing.”

(Riwayat Ali bin Ja’ad dan Abu Uwanah dengan sanad shahih).

Waki’ dan Hanad meriwayatkan ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di dalam Az Zuhd, beliau berkata, “Pakaian tidak akan serupa hingga hati menjadi serupa.”

(Sanadnya dha’if).

Ucapan beliau ini diambil dari sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum itu.”

(HSR Abu Dawud, Ahmad, dan selainnya).

Dari sinilah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan rakyatnya agar membuang selop dan celana panjang serta memerintahkan mereka mengenakan pakaian yang biasa dikenakan orang Arab, yaitu dengan tujuan memlihara kepribadian mereka agar jangan condong kepada orang-orang ‘ajam.

Perbuatan tasyabuh (dalam hal pakaian) yang dilakukan oleh umat ini kepada musuh-musuhnya merupakan tanda lemahnya iltizam mereka dan lemahnya akhlak mereka.

Mereka telah ditimpa penyakit bunglon dan bimbang. Perjalanan mereka pun guncang seperti benda padat yang telah cair, siap dileburkan dalam berbagai bentuk di setiap waktu. Bagaimana pun juga tasyabuh ini merupakan penyakit yang jelek.

Perumpamaannya seperti seorang yang menisbatkan dirinya kepada orang lain selain ayahnya. Mereka tidak disukai oleh umat yang melahirkan mereka, tidak pula diakui umat yang mereka tiru dan cintai.

Mungkin timbul pertanyaan:

Kenapa para ulama tidak berupaya meluruskan kebiasaan atau adat ini sebelum menjadi perkara besar?

Jawabannya: Sesungguhnya para ulama telah berupaya keras meluruskannya, akan tetapi dalam berhadapan dengan kenyataan bahwa yang mayoritas mengalahkan yang minoritas sehingga upaya para ulama tersebut tidak banyak memberikan hasil.

Banyak dari kaum muslimin merasa pada posisi yang sulit di tengah-tengah adat dan pakaian kaum musyirikn padahal di antara mereka ada yang dikenal alim. Mereka inilah yang menjadi contoh jelek bagi kaum muslimin, wal ‘iyadzu billah.[2]

Lebih parah lagi di antara mereka ada yang meninggalkan shalat hanya karena khawatir pantalonnya berkerat-kerut hingga merusak penampilan.

Hal ini banyak kita dengan dari mereka. Karena itu di antara upaya menghidangkan sunnah di hadapan umat, kami bawakan beberapa kriteria pakaian sholat yang sepatutnya diperhatikan seorang muslim supaya terhindar dari hal-hal tersebut di atas.

PAKAIAN DALAM SHOLAT

KRITERIA TERSEBUT ADALAH:

1. TIDAK KETAT SEHINGGA MENGGAMBARKAN BENTUK AURAT.

Mengenakan pakaian ketat jelas tidak disukai syariat dan kedokteran karena efeknya berbahaya bagi badan. Bahkan ada yang saking ketatnya hingga membuat pemakainya tidak dapat sujud.

Bila karena mengenakannya seseorang meninggalkan sholat, maka jelas pakaian semacam ini haram. Dan memang kenyataan menunjjukkan bahwa mayoritas orang yang mengenakan pakaian semacam ini adalah orang-orang yang tidak sholat.

Demikian pula banyak di antara kaum muslimin di jaman ini yang menunaikan sholat dengan pakaian yang membentuk kedua kemaluan atau membentuk salah satunya.

Al Hafizh Ibnu Hajar meceritakan sebuah riwayat dari Asyhab tentang seseorang yang sholat hanya dengan menggunakan celana panjang (tanpa ditutupi sarung atau jubah atau gamis),

beliau berkata, “Hendaknya ia mengulangi sholatnya ketika itu juga kecuali bila celananya tebal.” Sedangkan sebagian ulama Hanafiyah memakruhkan hal itu.

Padahal saat itu keadaan celana panjang mereka sangat longgar, lalu bagaimana dengan Celana Panjang (pantaloon) yang sangat sempit?!

Syaikh Al Albani berkata, “Celana pantalon mengandung dua cela.

PERTAMA

orang yang menggunakannya berarti bertasyabuh dengan kaum kafir. Pada mulanya kaum muslimin mengenakan celana panjang yang luas dan longgar yang sekarang masih digunakan oleh sebagian orang di Suriah dan Libanon.

Mereka sama sekali tidak mengenal celana panjang (pantaloon), kecuali setelah mereka ditaklukkan dan dijajah.

Kemudian setelah kaum penjajah takluk dan mengundurkan diri mereka meninggalkan jejak yang buruk, lalu dengan kebodohan dan kejahilan kaum muslimin melestarikan peninggalan mereka tadi.

KEDUA

celana panjang (pantaloon) dapat membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki adalah dari lutut hingga pusar.

Ketika sholat seorang muslim seharusnya amat jauh dari keadaan bermaksiat kepada RabbNya, namun bagi mereka yang menggunakan celana pantalon, anda akan melihat kedua belahan pantatnya terbentuk, bahkan dapat membentuk apa yang ada di antara kedua pantatnya tersebut.

Bagaimana muungkin orang yang dalam keadaannya semacam ini dikatakan sholat dan berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin?!

Anehnya banyak di antara pemuda muslim yang mengingkari wanita-wanita berpakaian ketat atau sempit karena membentuk bodinya sementara mereka sendiri lupa akan diri mereka.

Mereka sendiri terjatuh pada hal yang diingkari, sebab tidak ada perbedaan antara wanita yang berpakaian sempit dan membentuk tubuhnya dengan pria yang memakai celana pantalon yang juga membentuk pantatnya.

Pantat pria dan pantat wanita keduanya sama-sama aurat. Karena itu wajib bagi para pemuda untuk segera menyadari musibah yang telah melanda mereka kecuali orang yang dipelihara Allah, namun mereka sedikit[3].

Adapun bila celana pantalon tersebut luas, maka sah sholat dengannya.

Namun akan lebih utama bila di atasnya ada gamis yang menutup antara pusar hingga lutut atau lebih rendah hingga pertengahan betis atau mata kaki.

Yang demikian lebih sempurna dalam menutup aurat[4].

(Al Fatawa 1/69 oleh Syaikh bin Baz).

2. TIDAK TIPIS DAN TIDAK TRANSPARAN

Sebagaimana makruh (dibenci)nya sholat dengan pakaian ketat yang menggambarkan bentuk aurat,

maka demikian pula tidak boleh sholat dengan pakaian yang tipis yang tampak secara transparan apa yang ada di baliknya seperti pakaian sebagian orang yang gila mode di jaman ini, mereka poles apa yang dianggap aib oleh syariat hingga tampak indah.

Mereka adalah tawanan-tawanan syahwat, budak-budak adat dan mereka mempunyai propagandis yang menyerukan propaganda-propaganda, menawarkan mode-mode baru, “Inilah yang terbaru, inilah yang trendi, tidak kolot dan kuno[5].”

Termasuk dalam bab ini adalah sholat dengan mengenakan pakaian tidur “piyama”.

Sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Bukhari di dalam Shohihnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

Pernah ada seseorang yang datang menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya tentang sholat dengan mengenakan satu pakaian.

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bukankah setiap kalian mampu mendapatkan dua pakaian!?”

Kemudian seseorang bertanya kepada Umar, lalu Umar menjawab,

“Bila Allah memberikan kelapangan seseorang hendaknya ia sholat dengan sarung dan jubah, atau sarung dan gamis, atau sarung dan mantel (jubah luar),

atau celana panjang dan gamis atau celana panjang dan jubah, atau celana panjang dan mantel, atau celana pendek dan mantel, atau celana pendek dan gamis (yang menutupi sampai bawah lutut, red).”

(Muttafaqun ‘alaihi).

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melihat Nafi’ sholat sendiri dengan mengenakan satu pakaian.

Lalu beliau berkata padanya, “Bukankah saya memberimu dua pakaian?” Nafi’ menjawab, “Benar.”

Ibnu Umar bertanya pula, “Apakah kamu pergi ke pasar dengan mengenakan satu pakaian?” Nafi’ menjawab, “Tidak.”

Ibnu Umar berkata, “Allah yang lebih berhak bagimu berhias untukNya.“[6]

Demikian pula orang yang sholat dengan pakaian tidur, tentunya ia malu pergi ke pasar dengannya karena tipis dan transparan.

Ibnu Abdil Barr dalam At Tahmid 6/369 mengatakan,

“Sesungguuhnya ahli ilmu menganggap mustahab bagi seseorang yang mampu dalam pakaian agar berhias dengan pakaian, minyak wangi dan siwaknya, ketika sholat sesuai dengan kemampuannya.”

Para fuqaha dalam membahas syarat-syarat sahnya sholat yaitu pada pembahasan “Menutup Aurat”, mereka mengatakan,

“Syarat bagi pakaian penutup adalah tebal, tidaklah sah bila tipis dan mengesankan warna kulit.”

Semua ini berlaku bagi pria dan wanita, baik pada sholat sendiri ataupun sholat berjamaah.

Dengan demikian siapa saja yang terbuka auratnya padahal ia mampu menutupnya, maka sholatnya tidak sah walaupun sholat sendiri di tempat yang gelap, karena sudah merupakan ijma’ akan wajibnya menutup aurat di dalam sholat.

Allah ta’ala berfirman,

يَا بَنِيْْ آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al A’raf: 31).

Yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) pada ayat di atas yaitu pakaian, sedangkan yang dimaksud dengan masjid yaitu sholat.

Artinya, “Pakailah pakaian yang menutup aurat kalian ketika sholat.“

Ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan jenis-jenis pakaian yang menutup atau yang banyak dipakai tersebut merupakan dalil akan wajibnya sholat dengan pakaian yang menutup aurat.

Beliau menggabungkan yang satu dengan yang lain bukan berarti pembatasan, akan tetapi yang satu bisa mengganti kedudukan yang lain.

Adapun mengenakan satu pakaian hanya boleh dilakukan dalam keadaan yang mendesak atau terpaksa.

Di sana juga terdapat faidah bahwa sholat dengan dua pakaian itu lebih afdhol daripada dengan satu pakaian. Dan Al Qodhi Iyadh telah menegaskan ijma’ dalam hal ini.[7]

Berkata Imam Syafi’i rahimahullah, “Bila seseorang sholat dengan gamis yang transparan[8], maka sholatnya tidak sah.”[9]

Beliau juga berkata,

“Yang lebih parah dalam hal ini adalah kaum wanita bila sholat dengan daster (pakaian wanita di rumah) dan kudung, sedangkan daster menggambarkan bentuk tubuhnya.

Saya lebih suka wanita tersebut sholat dengan mengenakan jilbab yang lapang di atas kudung dan dasternya sehingga tubuh tidak terbentuk dengan daster tadi.”[10]

Untuk itu hendaknya kaum wanita tidak sholat dengan pakaian yang transparan seperti pakaian dari nilon dan sejenisnya, karena bahan jenis ini walaupun luas dan menetup seluruh tubuh namun selalu terbuka atau membentuk.

Dalilnya adalah sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

سَيَكُوْنُ فِي آخِرِ أُمَّتِيْ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ…

“Akan ada kelak pada umatku wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang…”

(HR Malik dan Muslim).

Ibnu Abdil Barr berkata, “Yang dimaksud oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis atau mini yang membentuk tubuh dan tidak menutup auratnya.

Mereka disebut berpakaian tetapi pada hakekatnya telanjang.”[11]

Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah sebuah riwayat sebagai berikut,

“Suatu hari Al Mundzir bin Az Zubair datang dari Iraq, lalu ia mengirim oleh-oleh kepada Asma` pakaian tipis dan antik dari Quhistan dekat Khurasan, setelah ia mengalami kebutaan.

Ia pun lantas meraba pakaian tersebut dengan tangannya kemudian berkata, “Ah!

Kembalikan pakaian ini.” Pengantarnya merasa tidak enak dan berkata, “Wahai ibu! Sungguh pakaian ini tidak transparan.”

Asma` berkata, “Pakaian ini, walaupun tidak transparan akan tetapi membentuk.“[12]

Kata As Safarini dalam Gidza`ul Albab, “Bila pakaian itu tipis hingga tampak aurat si pemakainya, baik lelaki maupun wanita, maka dilarang dan haram mengenakannya. Sebab secara syariat dianggap tidak menutup aurat sebagaimana diperintahkan.

Hal ini tidak diperselisihkan lagi.”[13]

Kata Imam As Syaukani dalam Nailul Author 2/115, “Wajib bagi wanita menutup badannya dengan pakaian yang tidak membentuk tubuh, inilah syarat dalam menutup aurat.”

Sebagian fuqoha menyebutkan, “Pakaian yang transparan pada sekilas pandangan, keberadaannya seperti tidak ada. Karena itu tidak ada sholat bagi yang mengenakannya (untuk sholat).“

Sebagian yang lain menegaskan bahwa pakaian para salaf tidak ada yang terbuat dari bahan yang membentuk aurat karena tipis, sempit atau yang lain.

3. TIDAK MEMBUKA AURAT

Ada beberapa golongan yang terkadang sholat dengan aurat terbuka, di antaranya:

a. Mereka yang mengenakan celana panjang pantalon yang membentuk aurat atau mengesankannya atau transparan dengan kemeja pendek.

Ketika ruku’ dan sujud, kemeja tertarik ke atas sedang celana tertarik ke bawah. Dengan demikian punggung dan sebagian auratnya tampak.

Hal ini kadangkala terjadi bila tidak bisa dikatakan sering. Perhatikanlah, aurat mughalladhah (alat vital)nya tampak ketika ia ruku’ atau sujud di hadapan Rabbnya.

Na’udzubillah! Kita berlindung kepada Allah dari kebodohan, sebab bila dalam keadaan demikian sedang aurat terbuka, jelas mengantarkan pada batalnya sholat.

Lantas siapa kambing hitamnya? Celana panjang (pantaloon) dan memang celana pantalon asalnya dari negeri kafir.[14]

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin dalam menanggapi beberapa kesalahan yang dilakukan sebagian kaum muslimin di dalam sholat, beliau berkata,

“Banyak di antara manunsia tidak lagi mengenakan pakaian yang luas dan lapang, mereka hanya mengenakan celana panjang dan kemeja pendek yang menutupi dada dan punggung.

Bila mereka ruku’, kemeja tertarik hingga tampak sebagian punggung dan ekornya yang merupakan aurat dan dilihat oleh orang yang ada di belakangnya.

Padahal terbukanya aurat merupakan sebab batalnya sholat.[15]

b. Wanita yang tidak menjaga pakaian dan tidak memperhatikan menutup seluruh badan, sedang ia berada di hadapan Robbnya, baik karena bodoh, malas atau acuh tak acuh.

Padahal sudah menjadi kesepakatan bahwa pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk sholat adalah baju panjang dan kerudung.[16]

Kadang-kadang seorang wanita sudah memulai sholat padahal sebagian rambut atau lengan atau betisnya masih terbuka.

Maka ketika itu –menurut jumhur ahli ilmu- wajib ia mengulangi sholatnya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sayidah Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَيَقْبَلُ اللهُ صَلاَة حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ

“Allah tidak menerima sholat wanita yang telah haid (baligh) kecuali dengan kerudung.”

(HSR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lain).

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya sebagai berikut, “Pakaian apa yang pantas dikenakan wanita untuk sholat?”

Beliau menjawab, “Kerudung dan baju panjang yang longgar sampai menutup kedua telapak kaki.“[17] (Riwayat Malik dan Baihaqi dengan sanad jayyid).

Imam Ahmad juga pernah ditanya, “Berapa banyak pakaian yang dikenakan wanita untuk sholat?” Beliau menjawab, “Paling sedikit baju rumah dan kudung dengan menutup kedua kakinya dan hendaknya baju itu lapang dan menuutup kedua kakinya.”

Imam Syafi’i berkata, “Wanita wajib menutup seluruh tubuhnya di dalam sholat kecuali dua telapak tangan dan mukanya.”

Beliau juga berkata, “Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajah. Telapak kaki pun termasuk aurat.

Apabila di tengah sholat tersingkap apa yang ada antara pusar dan lutut bagi pria sedang bagi wanita tersingkap sedikit dari rambut atau badan atau yang mana saja dari anggota tubuhnya selain yang dua tadi dan pergelangan –baik tahu atau tidak- maka mereka harus mengulang sholatnya.

Kecuali bila tersingkap oleh angin atau karena jatuh lalu segera mengembalikannya tanpa membiarkan walau sejenak.

Namun bila ia membiarkan sejenak walau seukuran waktu untuk mengembalikan, maka ia tetap harus mengulanginya.”[18] Oleh karena itu wajib bagi wanita muslimah memperhatikan pakaian mereka di dalam sholat, lebih-lebih di luar sholat.

Banyak juga dari mereka yang sangat memperhatikan bagian atas badan yaitu kepala. Mereka menutup rambut dan pangkal leher tapi tidak memperhatikan anggota badan bagian bawah dengan kaos kaki yang sewarna dengan kulit sehingga tampak semakin indah.

Terkadang ada di antara mereka yang sholat dengan penampilan semacam ini. Hal ini tidak boleh.

Wajib bagi mereka untuk segera menyempurnakan hijab sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Teladanilah wanita-wanita Muhajirin ketika turun perintah Allah agar mengenakan kerudung, mereka segera merobek korden-korden yang mereka punyai lalu memakainya sebagai kerudung.

Tetapi sekarang, kita tidak perlu menyuruh mereka merobek sesuatu, cukup kita perintahkan mereka memanjangkan dan meluaskannya hingga menjadi pakaian yang benar-benar menutup.[19]

Mengingat telah meluasnya pemakaian jilbab pendek di kalangan muslimah di beberapa negeri yang berpenduduk muslim, maka saya memandang penting untuk menjelaskan secara ringkas bahwa kaki dan betis wanita adalah aurat. Ucapan saya wabillahit taufiq adalah sebagai berikut:

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

… وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ …

“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (An Nur: 31).

Sisi pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita juga wajib menutup kaki, sebab bila dikatakan tidak, maka alangkah mudahnya seseorang menampakkan perhiasan kakinya, yaitu gelang kaki sehingga tidak perlu ia memukulkan kaki untuk itu.

Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan karena menampakkannya merupakan penyelisihan terhadap syariat dan penyelisihan yang semacam ini tidak mungkin terjadi di jaman risalah.

Karena itu seseorang dari mereka melakukan tipu daya dengan cara memukulkan kakinya agar kaum pria mengetahui perhiasan yang disembunyikan.

Maka Allah pun melarang mereka dari hal itu.

Sebagai penguat dari penjelasan saya, Ibnu Hazm berkata, “Ini adalah nash yang menunjukkan bahwa kaki dan betis termasuk aurat yang mesti disembunyikan dan tidak halal menampakkannya.”[20]

Adapun penguat dari sunnah adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Siapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat.”

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bertanya, “Apa yang harus diperbuat oleh wanita terhadap ujung pakaian mereka?”

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Turunkan sejengkal.” Ummu Salamah berkata, “Bila demikian kakinya akan tersingkap.”

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Turunkan sehasta, jangan lebih dari itu.”

Dalam riwayat lain: Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan pada ummahatul mu`minin (untuk menambah) sejengkal, dan mereka minta tambah, maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkannya”.

(HSR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah) (Lihat Ash Shohihah 60).

Faidah dari riwayat ini adalah bahwa yang dibolehkan adalah sekitar satu hasta, yaitu dua jengkal bagi tangan ukuran sedang.

Imam Al Baihaqi berkata, “Riwayat ini merupakan dalil tentang wajibnya menutup kedua punggung telapak kaki bagi wanita.”[21]

Ucapan “Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan” dan pertanyaan Ummu Salamah: “Apa yang harus diperbuat wanita terhadap ujung pakaiannya?”

setelah ia mendengar ancaman bagi orang yang melabuhkan pakaiannya, semua ini mengandung sanggahan terhadap anggapan bahwa hadits-hadits yang mutlak

(bersifat umum) mengenai ancaman bagi pelaku isbal (melabuhkan pakaian sampai di bawah mata kaki) itu ditaqyid (dibatasi kemutlakannya) oleh hadits lain yang tegas yaitu bagi yang melakukannya karena sombong.

Anggapan ini terbantah karena sekiranya benar demikian, maka pertanyaan Ummu Salamah yang meminta kejelasan hukum bagi wanita itu tidak ada maknanya.

Akan tetapi Ummu Salamah memahami bahwa ancaman itu bersifat mutlak, berlaku bagi orang yang sombong dan yang tidak.

Karena pemahaman beliau yang demikian, maka beliau menanyakan kejelasan hukumnya bagi wanita sebab wanita dituntut untuk berlaku isbal guna menutup aurat yaitu kaki.

Dengan demikian jelas bagi beliau bahwa ancaman itu tidak berlaku bagi wanita, tetapi khusus bagi lelaki dan hanya dalam pengertian ini.

‘Iyadl rohimahullah telah menukil adanya ijma’ bahwa larangan itu hanya berlaku bagi kaum pria, tidak bagi kaum wanita karena adanya taqrir Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atas pemahaman Ummu Salamah. Larangan yang dimaksud adalah larangan isbal.

Walhasil, bagi pria ada dua keadaan:

1. Keadaan yang mustahab yaitu memendekkan sarung hingga pertengahan betis.

2. Keadaan jawaz (boleh) yaitu melebihkannya hingga di atas mata kaki.

Adapun bagi wanita juga ada dua keadaan:

1. Keadaan mustahab yaitu melebihkan sekitar satu jengkal dari keadaan jawaz bagi pria.

2. Keadaan jawaz yaitu melebihkannya sekitar satu hasta.[22]

Sunnah inilah yang dijalankan oleh wanita-wanita di jaman Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dan jaman-jaman selanjutnya.

Dari sinilah kaum muslimin di masa-masa awal menetapkan syarat bagi ahli dzimmah harus tersingkap betis dan kakinya supaya tidak serupa dengan wanita-wanita muslimah.

Hal ini sebagaimana diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim.

Termasuk pula orang-orang yang terjerumus dalam kesalahan ini yaitu memulai sholat sedang aurat tersingkap adalah orang tua yang memakaikan anak mereka celana pendek dan menyertakannya sholat di masjid.

Padahal Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوْهُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعٍ

“Perintahkan mereka sholat ketika mereka berumur tujuh tahun.” (HSR. Ibnu Khuzaimah, Hakim, Baihaqi, dan yang lain).

Sedang tidak diragukan lagi bahwa perintah ini mencakup juga perintah menunaikan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Perhatikanlah, jangan sampai anda termasuk orang-orang yang lalai.

Demikianlah beberapa perkara yang harus kita perhatikan dalam hal pakaian dalam sholat berikut beberapa kesalahan yang terjadi.

Namun masih ada beberapa hal yang berkaitan dengan syarat-syarat pakaian dalam sholat di antaranya tidak musbil, tidak bergambar, dan bukan pakaian yang dicelup merah. Wallahu a’lam.

Diterjemahkan oleh Muhammad Rusli dengan sedikit tambahan

——————————————————————————–

[1] Abu Awanah di dalam Shahihnya menerangkan sisi lain dari sebab ucapan Umar ini, yaitu mengatakan di permulaannya,

“Utbah bin Farqad pernah mengutus seorang budak untuk membawa kiriman kepada Umar yang berisi berbagai macam makanan yang di atasnya terdapat permadani dari bulu.

Ketika Umar melihatnya beliau berkata, “Apakah kaum muslimin kenyang dengan makanan ini di negeri mereka?”

Budak itu menjawab, “Tidak.” Umar berkata, “Saya tidak suka ini.” Lalu beliau menulis surat kepadanya…

[2] Syaikh Abu Bakar Al Jaza`iri dalam kitabnya At Tadkhin memberi rincian sebagai berikut,

“Di antara adat-adat rusak itu ialah memelihara anjing di dalam rumah, wanita muslimah membuka wajah mereka, kaum pria mencukur jenggot,

mengenakan celana pantalon ketat tanpa gamis atau sarung di atasnya, membuka kepala, beramah tamah dengan ahli fasik dan munafik, tidak beramar ma’ruf nahi munkar dengan slogan ‘kebebasan berfikir’ dan ‘hak asasi manusia’.“

[3] Dari kaset rekaman beliau ketika menjawab pertanyaan Abu Ishaq Al Huwaini Al Mishri, direkam di Urdun pada bulan Muharram tahun 1407 H,

lihat tulisan beliau:

Syarat keempat dari syarat hijab wanita muslimah, yaitu agar luas atau longgar dan tidak sempit, yaitu dalam kitab Hijab Mar`atil Muslimah.

Maka kesalahan yang disebut di atas terkena pada pria dan wanita Namun pada pria hal itu lebih tampak, karena mayoritas kaum muslimin di jaman ini sholat menggunakan pantalon.

Bahkan kebanyakan mereka sholat dengan pantalon yang sempit, laa haula walaa quwwata illa billah.

Padahal Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang sholat dengan mengenakan celana panjang tanpa ditutupi jubah sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud dan Hakim dengan sanad hasan.

Hal ini diterangkan dalam Shahih Jami’ush Shoghir 6830.

[4] Dengan ini pula Lajnah Ad Daimah menjawab pertanyaan seputar hukum sholat dengan celana panjang (pantaloon) pada Idaratul Buhuts no 2003 sebagai berikut,

“Bila pakaian (celana pantalon) tersebut longgar hingga tidak menggambarkan aurat dan tebal hingga tidak transparan, maka boleh sholat dengannya.

Adapun bila transparan, tampak semua yang ada di baliknya, maka batal sholat dengannya. Sedang bila pakaian tersebut hanya sekedar membentuk aurat maka makruh sholat dengannya kecuali bila tidak ada yang lain…” Wabillahit taufiq.

[5] Fatawa Rasyid Ridha 5/2056

[6] Riwayat Thohawi dalam Syarah Ma’anil Atsar

[7] Fathul Bari 1/476, Majmu’ 3/181, Nailul Author 2/78 & 84

[8] As Sa’aty dalam Fathul Rabbani 18/236 berkata,

“Gamis adalah pakaian berjahit mempunyai dua lengan dan saku, yaitu yang hari ini dikenal dengan jalabiyah, merupakan pakaian yang lebar menutup seluruh badan dari leher ke mata kaki atau ke pertengahan betis.

Dahulu pakaian ini digunakan sebagai pakaian dalam.”

[9] Al Umm 1/78

[10] Al Umm 1/78

[11] Tanwirul Hawalik 3/103

[12] Riwayat Ibnu Sa’ad dalam At Thobaqotul Kubra 8/184 dengan sanad shahih.

[13] Ad Dinul Kholish 6/180

[14] Tanbihat Hammah ‘ala malabisil muslimin al-yaum, hal. 28

[15] Majalah Al Mujtama’ no. 855

[16] Bidayatul Mujtahid 1/115, Al Mughni 1/603, Al Majmu’ 3/171 dan I’anatut Tholibin 1/285. Maksudnya menutup badan dan kepalanya. Jika pakaiannya lapang sehingga dengan sisanya ia menutup kepala, maka hal ini boleh.

Disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya 1/483 secara mu’allaq dari Ikrima, ia berkata, “Sekiranya seluruh tubuh sudah tertutup dengan satu pakaian, niscaya hal itu sudah mencukupi.“

[17] Masail Ibrohim bin Hanif lil Imam Ahmad no. 286

[18] Al Umm 1/77

[19] Hijab Al Mar`ah Al Muslimah hal. 61.

[20] Al Muhalla 3/216

[21] Tirmidzi berkata dalam Al Jami’ 4/224, “Kandungan hadits ini yaitu adanya rukhshoh bagi wanita untuk melabuhkan kain sarung karena hal itu lebih sempurna dalam menutup.”

[22] Fathul Bari 10/259

UMMU HABIBAH BINTI ABU SUFYAN


_origin_Daba-450UMMU HABIBAH BINTI ABU SUFYAN

Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah.

Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani.
Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam.

Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya.

Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?

Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus.

Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang berkepanjangan.

Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang beriman.

Keistimewaan Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori perientangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan.

A. MASA KECIL DAN NASAB PERTUMUHANNYA

Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams.

Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan.

Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan ..

Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik.

B. PERNIKAHAN, HIJRAH DAN ENDERITAANNYA

Ketika usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka.

Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahirn ..

Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala.

Ramlah sadar bahwa dirinya telah menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung.

Di dalarn hatinya terbersit keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim .

Sementara itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru, yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya.

Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu.

Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.

Mendengar misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy
menyatakan perang terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah.

Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy.

Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar mereka kembali kepada agama nenek moyang.

Ketika itu Ramlah tengah mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi nama Habibah.

Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah berubah menjadi Ummu Habibah.

Selama mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat dan jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal mereka.

Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di Habasyah.

Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin.

Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.

Beberapa tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum habis.

Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan pernah kuat.

Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.

Ummu Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya.

Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Allah, keadaannya telah berubah.’

Pagi harinya Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya.

Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.’

Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak mempedulikannya.

Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras sehingga merenggut nyawanya.”

Demikianlah, Ubaidillah keluar dan agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri dan anaknya yang masih kecil.

Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam Islam dan memertahankannya hingga suaminya meninggal.

Ummu Habibah merasa terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kerMurtadan suaminya.

Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya, Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaurn muslimin.

Dalam keadaan seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara keluarga suarninya telah meeninggalkan rumah mereka karena telah bergabung dengan Rasulullah.

Akhirnya, dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah.

C. MENJADI UMMUL MUKMININ

Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah.

Ketika memantau Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama ini.

Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya.

Ummu Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin.

Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku.” Dia melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis.

Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja.

Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.”

Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan.’

Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak rnengawinkanmu’.

Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang dibawanya.”

Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersarna Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.

Berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu Sufyan.

Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu musuhi di antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah: 7).

Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.

D. HIDUP BERSAMA RASULULLAH SHALALLAHU ‘ALAIHI WASSALAM

Rasululullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan membawa dua tugas,

yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang Ummu Habibah untuk Rasulullah.

Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka mendengar berita kernenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar.

Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah kembali dan Habasyah.

Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah.

Beliau mengajak Ummu Habibah ke dalarn rumah, yang ketika itu bersarnaan juga dengan pernikahan beliau dengan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar yang ditawan tentara Islam.

Ketika itu Nabi mernbebaskan dan menikahinya. Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.

Perjalanan hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan konflik antar istri atau mengundang amarah beliau.

Selain itu, belum juga ada riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa cemburu.

E. POSISI YANG SULIT

Telah kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara istri-istri Rasulullah.

Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya.

Orang-orang Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah bersama Rasulullah.

Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin.

Untuk mengantisipasi hal itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarga Ummu Habibah.

Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani Qazaah yang mereka lakukan.

Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum muslimin sehingga mereka memilih jalan damai.

Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan Rasulullah.

Sesampainya di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih dahulu rnenemui Ummu Habibah dan berusaha rnemperalat putrinya itu untuk kepentingannya.

Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melibat ayahnya berada di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah.

Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar.

Melihat itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan.

Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, “Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau rnenyingkirkannya dariku?”

Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis.

Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya.

Dia merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan serangan kaurn muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa yang akan terjadi.

Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah yang di dalarnnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah. Dia mendoakan kaum muslimin agar rnemperoleh kemenangan.

Allah mengizinkan kaum muslimin untuk mernbebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan tentara Islam memasuki Mekah.

Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka.

Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerrna ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya dengan kerendahan diri.

Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas kebesarannya.

Abbas berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat suka disanjung.” Di sini tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah.

Beliau menjawab, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat.”

Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya.

F. AKHIR SEBUAH PERJALANAN

Setelah Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa pun.

Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu.

Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu.

Dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,

“Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.’

Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku tidak pernah meninggalkannya setelaH aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.”

(HR. Muslim)

Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah. Amin.

TERBISU SAAT SHOLAT


Terbisu Saat Sholat

 

Diantara kesalahan sholat yang banyak tersebar di masyarakat, adanya sebagian orang yang terdiam bisu, tanpa membaca sesuatu apapun di antara dzikir-dzikir dan bacaan-bacaan dalam sholat, baik itu berupa takbir, bacaan surat, dzikir ruku’, dzikir sujud, tasyahhud, dan lainnya. Orang-orang yang semodel ini, hanya mencukupkan diri dengan bacaan dalam hati; seakan-akan sholat itu hanyalah gerakan belaka, tanpa disertai ucapan. Parahnya lagi, sampai ada orang yang berpendapat seperti ini menyatakan bahwa boleh seseorang memulai sholatnya tanpa takbir!! Diantara orang yang berpendapat demikian adalah Abu Bakr Al-Ashom Al-Mu’taziliy (pengikut aliran sesat Mu’tazilah), dan Ibrahim bin Isma’il bin Ulayyah Al-Jahmiy [Lihat Bada’iush Shona’i (1/455 & 2/22) karya Al-Kaasaaniy]

Mereka beralasan bahwa firman Allah,

“Dan Dirikanlah shalat…”(QS. Al-Baqoroh : 43)

Menurut mereka bahwa ayat ini sifatnya global, dan telah dijelaskan oleh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dengan perbuatannya. Karena itu, Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Sholatlah kalian melihat aku sholat”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Adzan (631)]

Kata mereka bahwa yang terlihat adalah perbuatan (gerakan), bukan ucapan. Jadi, sholat itu adalah nama bagi perbuatan-perbuatan (gerakan) saja!! Oleh karenanya, orang yang berpendapat demikian menyatakan bahwa kewajiban sholat gugur bagi seseorang yang tidak mampu melakukan gerakan-gerakan, walaupun ia mampu berdzikir. Jika ia mampu bergerak, dan hanya berdzikir dalam hati, maka kewajiban sholat tidak gugur darinya.

Demikian pendapat yang dinyatakan oleh Abu Bakr Abdur Rahman bin Kaisan Al-Ashom, seorang ahli bid’ah beraliran Mu’tazilah. Lalu diikuti pendapat ini oleh muridnya, Ibrahim bin Isma’il bin Ulayyah. Si murid ini juga ahli bid’ah dari kalangan Jahmiyyah.

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr Al-Andalusiyrahimahullah– berkata, Dia (Ibrahim bin Isma’il bin Ulayyah) memiliki banyak keganjilan, sedang pendapat-pendapatnya di sisi Ahlus Sunnah ditinggalkan; tak ada satu pendapatnya pun yang dianggap khilaf (yakni, tak ada nilainya)”. [Lihat Lisan Al-Mizan (1/15)]

Al-Imam Asy-Syafi’iyrahimahullah– berkata tentang Ibrahim ini, “Dia adalah orang yang sesat yang biasa duduk di pintu As-Sawwal untuk menyesatkan manusia”. Asy-Syafi’iy juga berkata, “Saya selalu menyelisihi Ibnu Ulayyah dalam segala hal”. [Lihat Lisan Al-Mizan (1/15)]

Al-Imam Abu Abdillah Adz-Dzahabiy-rahimahullah- berkata tentang Ibrahim bin Isma’il bin Ulayyah, “Dia adalah seorang Jahmiyyah (aliran sesat). Orangnya suka berdebat (ahli kalam), dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Dia wafat pada tahun 218 H”. [Lihat Mizan Al-I’tidal (1/20)]

Para pembaca yang budiman, pendapat yang dinyatakan oleh Abu Bakr Al-Ashom dan muridnya yang bernama Ibrahim bin Isma’il bin Ulayyah bahwa saat sholat seseorang boleh diam, dan tak perlu mengucapkan sesuatu apapun berupa dzikir dan bacaan; ini adalah pendapat batil, menyeleneh, dan menyelisihi dalil-dalil syar’iy.

Diantara dalil-dalil yang membatalkan pendapat dua orang ini adalah firman Allah -Ta’ala-,

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sholat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka dia memberi keringanan kepadamu. Karena itu, bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran”.(QS. Al-Muzzammil : 20)

Ayat ini turun berkaitan dengan sholat, sedang bacaan disini sifatnya muthlaq (global), mencakup semua bacaan, baik itu Al-Fatihah, maupun bacaan nafilah setelahnya. Namun ayat ini tentunya telah dijelaskan oleh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bahwa yang dimaksud adalah wajib membaca Al-Fatihah, dan selebihnya adalah nafilah (mustahab). Oleh karenanya, beliau bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tak sholat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab”. [HR. Al-Bukhoriy (756), Muslim (872)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy rahimahullah– berkata usai menjelaskan wajibnya membaca AL-Fatihah, “Jika hal itu telah nyata, maka keherananku tak pernah berhenti terhadap orang yang sengaja tidak membaca Surat Al-Fatihah dari kalangan mereka, dan tak melakukan tuma’ninah. Akhirnya, ia pun melakukan suatu sholat yang ia mau mendekatkan diri kepada Allah -Ta’ala- dengannya, sedang ia sengaja melakukan dosa (yakni, tidak membaca Al-Fatihah) di dalamnya karena berlebihan dalam mewujudkan penyelisihan terhadap madzhab yang lain”. [Lihat Fathul Bari(2/313-314)]

Andaikan membaca dan berdzikir dalam hati adalah perkara yang mencukupi dalam sholat –dan itu mustahil-, maka tentunya Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– tak akan bersabda kepada orang yang tidak becus melakukan sholatnya,

ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ

“Kemudian bacalah sesuatu yang mudah padamu berupa Al-Qur’an”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Adzan (757), dan Muslim dalam Kitab Ash-Sholah (883)]

Sebab yang disebut dengan qiro’ah (bacaan) bukan ucapan hati. Diantara konsekuensi qiro’ah (bacaan) menurut bahasa dan syara’ adalah menggerakkan lisan ( تحريك اللسان ) sebagaimana hal ini telah dimaklumi. Contohnya, firman Allah –Ta’ala-,

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran, karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya” (QS. Al-Qiyamah : 16).

Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril –‘alaihi salam– kalimat demi kalimat, sebelum Jibril selesai membacakannya, agar nabi Muhammad –Shallallahu alaihi wa sallam– dapat menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.

Jadi, qiro’ah bukanlah ucapan hati, bahkan ucapan lisan. Oleh karena itu, para ulama yang melarang orang junub untuk membaca Al-Qur’an, mereka menetapkan bolehnya membaca ayat-ayat dalam hati, sebab ucapan dalam hati bukanlah qiro’ah (bacaan) yang terlarang, dan memang beda. [Lihat Al-Qoul Al-Mubin (hal.98) oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, cet. Dar Ibn Al-Qoyyim & Dar Ibn Affan, 1416 H]

Al-Imam An-Nawawiy –rahimahullah– berkata, “Boleh bagi mereka (orang junub, wanita haidh dan nifas) untuk menyiratkan Al-Qur’an dalam hati, tanpa dilafazhkan; demikian pula melihat mushhaf , dan membacanya dalam hati”. [Lihat Al-Adzkar (hal. 13-14) oleh An-Nawawiy, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobabithiy, cet. Dar al-Hadits, 1424 H]

Seorang ulama Andalusia, Al-Qodhi Muhammad Ibn Rusyd pernah berkata, “Adapun bacaan seseorang dalam hatinya, namun ia tidak menggerakkan lisannya, bukanlah qiro”ah (bacaan) berdasarkan pendapat yang benar, karena bacaan itu hanyalah ucapan dengan menggunakan lisan. Nah, itulah yang diberi balasan. Dalil tentang hal itu adalah firman Allah -Azza wa Jalla-,

“Dia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (QS. Al-Baqoroh : 286)

Dalilnya juga adalah sabda Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-,

تَجَاوَزَ اللَّهُ لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا

“Allah memaafkan bagi umatku sesuatu yang diucapkan oleh hati mereka”. [HR. Al-Bukhoriy (5269), Muslim (), Abu Dawud (2209), At-Tirmidziy (1183), An-Nasa’iy (3434) dan Ibnu Majah (2040). Lihat Irwa’ Al-Gholil (2062)]

Sebagaimana halnya seorang tidak dihukum dengan sebab sesuatu yang diucapkan oleh hatinya berupa kejelekan, dan itu tidak memudhoroti dirinya, maka demikian pula ia tidak diberi balasan atas sesuatu yang diucapkan oleh hatinya berupa qiro’aah, dan kebaikan. Balasan yang diberikan hanyalah berdasarkan gerakan lisan ketika membaca, dan melakukan kebaikan”. [Lihat Al-Bayan wa At-Tahshil (1/491)]

Diantara dalil yang paling kuat tentang wajibnya membaca dzikir dan qiro’ah dengan lisan dalam sholat, bukan hanya sekedar ucapan hati, yaitu hadits seorang yang tidak becus melakukan sholatnya ketika Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda kepadanya,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

“Jika engkau bangkit melaksanakan sholat, maka bertakbirlah, lalu bacalah sesuatu yang mudah bagimu berupa Al-Qur’an. Kemudian rukuklah sampai tuma’ninah dalam posisi rukuk. Kemudian bangkitlan sampai tegak dalam posisi berdiri. Lalu sujudlah sampai tuma’ninah dalam keadaan sujud. Kemudian bangkitlah sampai tuma’ninah dalam keadaan duduk. Lakukanlah hal itu dalam seluruh sholatmu”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Adzan (757), dan Muslim dalam Kitab Ash-Sholah (883)]

Hadits ini menjelaskan bahwa diantara rukun sholat adalah bertakbir dan membaca Al-Fatihah pada setiap raka’at, sedang kedua rukun ini adalah rukun yang berkaitan dengan ucapan dan bacaan. Jadi, barangsiapa yang tidak membaca dan mengucapkannya dalam sholat, maka sholatnya batal!!! Jika ia terus melakukannya, maka ia berdosa.

Ini bagi orang yang mampu membaca Al-Fatihah. Jika tidak mampu membaca Al-Fatihah setelah ia berusaha sekuat tenaga untuk menghafalnya, namun ia tak mampu juga karena suatu penyakit atau buta huruf, dan lainnya, maka Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– tetap memberikan bimbingan agar ia membaca dzikir berikut ini:

Dari sahabat Ibnu Abi Aufa –radhiyallahu anhu– berkata,

عَنْ ابْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ:جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ فَعَلِّمْنِي شَيْئًا يُجْزِئُنِي مِنْ الْقُرْآنِ فَقَالَ قُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

“Seseorang pernah datang kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya berkata, “Sesungguhnya aku tidak mampu menghafal sesuatupun dari AL-Qur’an. Karenanya, ajarilah aku sesuatu yang mencukupi aku dari Al-Qur’an”. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Bacalah:

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

(Maha suci Allah, dan segala puji bagi Allah; Tiada sembahan yang, kecuali Allah; Allah Maha besar; Tiada daya dan upaya, kecuali pada Allah)”. [HR. Abu Dawud (832) dan An-Nasa’iy (923). Di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (303)]

Para pembaca yang budiman, perhatikan ketika Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– memberikan ganti bacaan Al-Fatihah dengan dzikir tersebut, maka gantinyapun dengan dzikir qouliy (dzikir ucapan dengan menggunakan lisan). Semua ini menunjukkan kepada kita tentang batilnya pendapat Abu Bakr Al-Ashom dan Ibrahim bin Isma’il bin Ulayyah. Ini juga menghancurkan paham dan pemikiran menyimpang yang pernah dicetuskan oleh kaum shufiyyah alias tarekat bahwa sholat tidak perlu melakukan gerakan-gerakan dan membaca dzikir dan lainnya dalam sholat. Menurut mereka bahwa sholat itu cukup dzikir dalam hati. Subhanallah, jelas ini batil berdasarkan dalil-dalil di atas. Walilllahil hamdu walminnah.

Ringkasnya , sholat haruslah disertai ucapan dan gerakan perbuatan yang telah dijelaskan oleh Teladan kita, Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dalam hadits-hadits yang shohih dari beliau. Tidak boleh sholat itu hanya sekedar bacaan atau dzikir dalam hati!!

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 123 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)